38 Tahun Mengenang Tragedi Kamp Shabra dan Shatila, Ribuan  Nyawa Umat Islam Gugur Dibantai Pasukan Israel

Pembantaian yang didalangi Tel Aviv bekerjasama dengan milisi Kristen “Malonit” tersebut terjadi selama 43 jam, dari hari Kamis 16 September 1982. Nyawa umat Islam tak berdosa dibunuh dengan bengis di kota Beirut Lebanon, ditengah sikap dunia internasional yang diam dan pasif.

BY Edited Wed,16 Sep 2020,11:52 AM

 

Ramallah, SPNA – Hari Rabu,  16 September 2020, bertepatan dengan 38 tahun pembantaian di kamp Shabra dan Shatila yang terjadi pada 1982.

Pembantaian yang didalangi Tel Aviv bekerjasama dengan milisi Kristen “Malonit” tersebut terjadi selama 43 jam, dari hari Kamis 16 September 1982. Nyawa umat Islam tak berdosa dibunuh dengan bengis di kota Beirut Lebanon, ditengah sikap dunia internasional yang diam dan pasif.

Hingga hari ini tak ada yang dapat memprediksi secara pasti jumlah korban yang berjatuhan. Menurut  surat kabar resmi Palestina, Wafanews berdasarkan riset yang paling kongkrit, jumlah korban mencapai lebih dari 3500 jiwa.  

Beberapa pakar mengatakan bahwa 75% korban adalah warga Palestina, 20% Lebanon sementara 5% sisanya berasal dari Suriah, Iran, Bangladesh, Kurdi, Mesir, Aljazair, dan Pakistan. Beberapa korban tidak diketahui identitasnya.

Konspirasi berujung pembantaian terhadap pengungsi Palestina yang tak berdaya di Lebanon dimulai sejak gerilyawan organisasi Pembebasan Palestina (PLO) meninggalkan Lebanon menuju Yordania, Irak dan Tunisia, akhir Agustus 1982 menyusul penarikan pasukan multinasional dari Lebanon beberapa hari sebelumnya, lebih awal dari jadwal resmi yang ditentukan.

Amerika Serikat sebelumnya memberikan jaminan bahwa pasukan Israel (IDF) tidak akan masuk ke Beirut. Washington juga menjamin keamanan bagi warga Palestina dan keluarga gerilyawan yang memilih keluar dari Beirut.

Namun pada Rabu 15 September, pasukan Pendudukan Israel mulai memantau aktivitas warga di kamp. Saat itu IDF bermarkas di beberapa gedung dekat Kedutaan Besar Kuwait, pintu masuk Kamp Shabra Shatila.

Kamis pagi pasukan IDF memberikan intruksi kepada milisi Malonit untuk mulai melakukan serangan disusul penembakan bom suar oleh pesawat tempur IDF.

Jum’at 17 September, pemandangan mengerikan hasil pembantaian mulai terlihat jelas. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan, buldoser terlihat menghancurkan rumah warga saat mereka masih didalam rumah. Sebagian terkubur bersama reruntuhan gedung. Pembantaian terus berlangsung hingga hari Sabtu tengah hari.

Milisi bersenjata menerobos masuk ke rumah warga lalu melakukan pembantaian. Warga yang selamat menocba melarikan diri ke rumah sakit, namun sayangnya, para kriminal tersebut tidak membiarkan warga lolos. Mereka bahkan menggerebek rumah sakit Akka di Beirut serta membunuh para dokter dan perawat. 

Pembantaian berdarah di Shabra dan Shatila baru berhenti tengah hari Sabtu, 18 September.  Mantan Staf Angkatan Darat IDF, Rafael Eitan membenarkan pembantaian tersebut dengan alasan untuk mencari 2000 gerilawayan Palestina,  namun tidak ada satupun senjata yang ditemukan saat pembantaian terjadi.

Jurnalis Inggris Robert Fisk yang berkunjung ke kamp Shatila pada 18 September 1982 mengatakan: “Pembantaian Shabra dan Shatila adalah tindakan teroris paling mengerikan dalam sejarah Timur Tengah modern.”

Di saat yang sama Amnon Kapeliouk, Jurnalis Israel, pendiri gerakan peduli HAM untuk Palestina B’Tselem mengatakan bahwa  pembantaian Shabra dan Shatila adalah yang paling mengerikan sejak perang dunia kedua berakhir.

Sebelumnya Israel juga membantai warga Palestina di Qibya, Deir Yassin, dan Tantura disusul pembantuan di Kamp Jenin, di Gaza dan seterusnya. Pembantaian Shabra dan Shatila bukan pertama, bukan pula yang terakhir dan masih akan terus berlanjut hingga hari ini, seperti dilansir surat kabar Palestina Wafanews.

(T.RS/S:Wafanews)

 

leave a reply
Posting terakhir